Cerita Malin Kundang si anak durhaka ini adalah cerita rakyat yang terkenal, tidak saja di daerah Sumatera Barat, tetapi juga hampir di seluruh Nusantara.
Cerita Malin Kundang singkat:
Malin Kundang, anak yatim yang meninggalkan ibunya untuk merantau. Dia berjanji, setelah sukses nanti akan menjemput ibunya. Namun Malin Kundang tidak menepati janjinya. Dia bahkan lupa pada ibunya.
Suatu hari, istri Malin Kundang mengajaknya berjalan-jalan. Tak disangka kapal mereka bersandar ke pantai di mana dulu Malin Kundang tinggal. Malin Kundang pun bertemu ibunya.
Apa yang terjadi? Apakah Malin Kundang menepati janjinya? Simak cerita lengkapnya di bawah ini.
***
Di selatan Kota Padang terdapat pantai yang sangat indah dengan laut yang airnya bersih dan jernih yang dikenal dengan nama Pantai Air Manis. Setiap hari, kampung nelayan itu ramai oleh kegembiraan penduduknya. Mereka hidupnya tenang dan damai walau dalam kesederhanaan.
Banyak anak yang senang bermain di pantai, salah satunya bernama Malin. Ia adalah seorang anak yatim karena tidak mempunyai ayah sejak ia masih dalam kandungan ibunya. Sejak lahir, ia hanya diasuh dan dibesarkan oleh ibunya.
Kasih sayang ibunya pun hanya tercurah untuk Malin sehingga selalu dikundang-kundang, yang artinya dibawa kemana saja ibunya pergi. Itulah sebabnya Malin dipanggil dengan nama Malin Kundang.
Pada suatu hari, ketika Malin Kundang berlari-Iari di pantai, kakinya tersangkut jala ikan yang sedang dijemur. la terjatuh dan keningnya terbentur kayu.
”Anakku, apa yang terjadi?” Ibunya berbegas memeluk Malin Kundang yang menangis menahan sakit. “Astaga, keningmu terluka.” Ucap ibunya khawatir. Dengan penuh kasih sayang, diseka dan dibersihkannya darah di kening anaknya. Sayangnya, luka yang terjadi saat ia terjatuh itu membekas hingga ia dewasa.
Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Malin Kundang pun tumbuh dewasa menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Ibunya berharap, kelak Malin Kundang akan menjadi orang yang baik, sopan, bijaksana, hormat,dan sayang pada ibunya.
Ketika dewasa, Malin Kundang menyadari bahwa kehidupan di Pantai Air Manis kurang mencukupi kebutuhannya. Ia ingin mencari pengalaman dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi nelayan yang hanya mencari ikan di laut saja. Ia ingin menjadi saudagar yang kaya raya.
Malin Kundang meminta restu ibunya untuk pergi merantau. Walau berat hati, ibunya mengijinkannya pergi demi masa depan yang cemerlang. ”Jangan bersedih, Ibu. Aku pergi untuk mencari rezeki agar kita bisa hidup lebih baik lagi,” ucap Malin Kundang sambil bersimpuh.
”Aku berjanji, kelak jika telah berhasil, aku akan kembali ke kampung ini untuk membahagiakan ibu,” lanjut Malin Kundang sambil menahan tangisnya.
Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun pun berganti. Selama itu pula tidak ada kabar apa pun dari Malin Kundang. Walau demikian, ibu Malin selalu berdoa demi keselamatan dan keberhasilan anaknya. ”0h, anakku, kapan kau pulang? Semoga kau selalu sehat. Ibu sangat rindu, ingin segera memelukmu,” harap ibu Malin.
Doa ibu Malin ternyata terkabul. Salah satu tetangganya yang bekerja sebagai nahkoda kapal bercerita bahwa ia pernah bertemu dengan Malin Kundang. “Anakmu semakin gagah dan tampan. Ia kini hidup bahagia dan telah menikah dengan perempuan cantik, putri seorang bangsawan yang kaya raya,” kata nahkoda kapal.
Ibunya pun semakin yakin, Malin Kundang akan segera datang dan membawa kebahagiaan untuknya. Namun ternyata Malin Kundang tak kunjung kembali.
Hampir setiap hari ia memandang pantai, menunggu anaknya kembali. Hingga pada suatu sore yang cerah, tampaklah sebuah kapal mewah mendekati Pantai Air Manis. ”Hore! Hore! Baginda Raja datang!” Penduduk pantai bersorak-sorak melihat seorang laki-laki gagah dan perempuan cantik berdiri di anjungan kapal.
Suara genderang ditabuh bertalu-talu dan terompet ditiup sangat meriah, sebagai tanda bahwa seorang pembesar akan berlabuh di pantai itu. Penduduk pun berduyun-duyun berlari, ingin menyambut kedatangan rajanya.
Di keramaian itu tampaklah ibu Malin Kundang yang berharap di antara rombongan raja itu ada anaknya yang kembali ke kampung karena telah berhasil di perantauan.
Tampaklah seorang laki-laki yang gagah dan istrinya yang cantik sedang berdiri di anjungan kapal. Ternyata dugaan penduduk itu keliru. Yang datang bukanlah raja atau pangeran, melainkan Malin Kundang. Pakaiannya tampak mahal dan mewah berkilauan tertimpa cahaya matahari.
“Lihat, Kakanda! Betapa gembiranya mereka menyambut kedatangan kita,” kata istri Malin Kundang sambil memeluk erat-erat tangan suaminya. ”Wah, itu Malin! Betul, itu Malin Kundang yang bertahun-tahun ditunggu oleh ibunya,” ucap seseorang dengan mata tak berkedip menatap Malin Kundang.
Sambutan masyarakat pun semakin meriah ketika tahu bahwa yang datang adalah Malin Kundang. Mereka saling berdesa-desakkan ingin melihat lebih dekat. Di antara keriuhan itu tampak ibu
Malin Kundang yang terharu dan bangga melihat kedatangan anak semata wayangnya. Ibu Malin Kundang berlari, menyeruak di antara ratusan penduduk berkerumun. ”Anakku, Malin Kundang. Akhirnya kau kembali juga, Nak!” Air matanya mengalir tak terbendung lagi. ”Kau benar-benar anak yang dapat kubanggakan,” lanjut ibu Malin. Malin Kundang terkejut dan terdiam dipeluk perempuan tua yang kurus dan keriput.
”Hah? Benarkah perempuan tua yang miskin ini adalah ibu Kakanda? Jadi mana yang benar? Kau bilang, ibumu saudagar yang kaya raya,” kata istri Malin sambil membuang muka. Melihat sikap istrinya yang tampak tidak suka pada ibunya, Malin pun langsung mendorong perempuan tua itu hingga tersungkur di tanah.
”Ibuku sudah meninggal. Ibuku tidak seburuk kamu!” Malin Kundang melotot sambil F membersihkan bajunya. ”Aku ibumu, nak, Mengapa kau melupakan ibumu?”
Mana mungkin aku punya ibu semiskin kamu,” teriak Malin Kundang sambil kembali menendangnya. ”Cih!” istri Malin Kundang meludahi perempuan tua itu. “Tidak tahu malu, mengaku-ngaku sebagai ibu suamiku. Malin adalah anak orang kaya di kampungnya,” tambah istri Malin Kundang dengan mata melotot.
”Ya Tuhan, mengapa kamu mengingkarinya, Malin. Setiap hari hanya engkau yang ibu pikirkan,” ucap Ibu Malin dengan suara serak. Ia pun menatap wajah Malin lekat-lekat.
”Luka di keningmu itu, Nak adalah bukti,” Lanjut ibu Malin sambil terisak-isak. ”Bukan, aku bukan anakmu!” Malin Kundang melotot menahan marah.
”Tuhan, kalau memang dia benar anakku tetapi tidak mengakuinya, sungguh durhaka dia. Hatinya seperti batu, tidak ingat kasih sayang ibunya,” tangis ibu Malin.
”Karena hatinya seperti batu maka kusumpahi dia menjadi batu!”. Ibu Malin tak mampu meneruskan kalimatnya karena ia pingsan tak kuat menahan kesedihan.
Orang-orang di sekitarnya menolong ibu Malin Kundang dan membawa ke rumahnya yang reyot nyaris roboh. Ketika ibunya siuman, kapal Malin Kundang telah menjauh dari pantai.
Ibunya terbayang-bayang wajah anaknya. Ia pun mengadu kepada Tuhan. “Sungguh berat cobaan ini,” ucapnya sambil menyeka air matanya dengan kainnya yang kumal. ”Sungguh tidak menyangka, jika anak yang hamba sayangi ini berbuat demikian jahatnya,” lanjutnya. Ibunya tidak bisa tidur karena menangis terus sepanjang malam.
Malam itu, alam seperti memahami kesedihan seorang ibu yang tidak diakui oleh anaknya. Langit yang semula cerah berlampu jutaan bintang tiba-tiba berubah menjadi gelap.
Angin besar disertai hujan deras, diiringi petir yang menggelegar membelah gelapnya malam disambut ombak tinggi bergulung-gulung. Penduduk Pantai Air masih sangat ketakutan tetapi tidak berani keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi.
***
Amanat cerita Malin Kundang yang bisa kita petik:
Doa ayah ibu selalu menyertai kita agar kita menjadi orang yang berhasil. Mereka juga telah mendidik dan membesarkan kita. Sungguh merupakan perbuatan tercela bila kita mengingkarianya, melupakannya, apalagi tidak mengakui sebagai orang tua kita.